Pendidik Bermental Mie Instan Yang Benar-Benar Instan
Suatu waktu saya lihat obrolan di sebuah warung kopi, saya lagi memesan mie pangsit di penjual mie dengan gerobaknya yang lagi mangkal di sebelah warung tersebur.
Saya mendengar obrolan seru dari dalam warung. "Ayo ikut webinar GRATIS ini, ada sertifikatnya 32 JP, cuma 2 jam acaranya. Nanti saya share link pendaftarannya ya," tanya seorang berpakaian guru kepada teman nya. Kemudian temannya menjawab, " lebih baik ikut yang ini saja, cuma nonton sharing di youtube sejam dapat 32 Jp". Tiba-tiba muncul teman yang lainnya lagi sambil berkata, "kemarin saya malah gak nonton sama sekali youtube nya titip absen saja sudah bisa dapat sertifikat 32 JP".
Dari obrolan guru-guru tersebut saya mengelus dada. Untung obrolan itu gak didengar siswa mereka, siswa mereka sedang belajar di rumah.
Fenomena sertifikat ber jam, sudah menjadi berita dan kebutuhan yang umum bagi para pendidik. Entah kapan mulainya banyak penyelenggara event berjualan diklat online dgn mendapat sertifikat ber jam tersebut. Bahkan ada yang membuat acara secara GRATIS.
Seharusnya pendidik bersyukur dengan adanya hal tersebut, bisa belajar tanpa keluar biaya. Namun ternyata ada pendidik seperti yang di warung kopi itu yang bermental mie instan yang benar-benar instan. Yang dikejar bukan manfaat belajar nya tapi sertifikatnya, malah tanpa belajar yang penting sertifikat nya.
Mereka mencari yang gratisan, kalau perlu tanpa mengeluarkan keringat pun sudah dapat yang dinginkan. Padahal sertifikat tersebut untuk memenuhi kebutuhan sertifikasi yang jika berhasil bisa dpt tunjangan berupa uang yang cukup besar jumlahnya.
Mungkin dlm pikiran mereka ada prinsip dagang modal sekecil-kecilnya utk hasil sebesar besar nya, atau mental pemulung dengan modal tenaga ambil barang sisa dan dapat uang. Namun jika keluar tenaga dan pikiran saja tidak mau, dan ingin hasil sebesar-besarnya, itu namanya mental apa ya ?
Di sisi lain jika para pendidik itu disalahkan pasti tidak mau karena ada penyelenggara yang memberi "celah" seperti itu. Bukannya penyelenggara memberi didikan yang baik kepada pendidik malah memberi umpan untuk pendidik berbuat seperti itu.
Akhirnya terjadilah iklim yang penuh jebakan seperti itu. Penyelenggara hanya mementingkan viral, branding dan cari database saja tanpa memperhatikan efek negatif di pihak pendidik, sehingga muncul model pendidik yang seperti cerita di warung kopi tersebut.
Jika anda seorang pendidik, apakah anda juga akan ikut pendidik di warung itu untuk berburu sertifikat gratisan tanpa perlu ngapa-ngapain dan yang penting uang tunjangan lancar ?
Bagaimana jika anda sebagai pendidik yang mempunyai peserta didik yang tidak mau masuk sekolah, titip absen saja dan tidak mau mengerjakan tugas namun minta nilai yang bagus ?
Selamat merenungkan cerita di atas, selamat berproses.